Friday, April 30, 2010
Cinta dan Perkawinan
“ Anak gadis (perawan) itu hendaklah dimintai izinnya (untuk dikawinkan), dan janda itu lebih berhak terhadap dirinya.” (HR. Al-Jama’ah Kecuali Bukhari)

Masalah cinta dan kasih sayang kini merebak menjadi topik pembicaraan dimana-mana, karena pengaruh drama, sandiwara, cerpen, novel, film (sinetron), dan lain-lain. Anak-anak gadis banyak yang gandrung dengan masalah ini. Saya khawatir mereka terperdaya oleh cinta. Lebih-lebih pada usia-usia puber dan memasuki baligh, sementara hati mereka masih kosong.

Akibatnya kata-kata yang manis mudah saja masuk kedalam hati yang kosong ini. Sangat disayangkan ada sebagian pemuda yang berbuat demikian dengan keterperdayaan atau malah merasa senang dan nikmat mencumbu dan merayu, bahkan merasa bangga dengan perbuatannya itu. Ia bangga jika dirinya dapat berhasil merayu banyak wanita.

Karena itu, wahai para gadis muslimah, janganlah terperdaya oleh perkataan dan semua rayuan gombal. Hendaklah anda mendengarkan nasihat orang tua atau wali. Janganlah memasuki kehidupan rumah tangga hanya semata-mata memperturutkan perasaan, tetapi pertimbangkanlah segala sesuatunya dengan akal sehat.

Kepada orang tua atau wali hendaklah memperhatikan kemauan dan keinginan anak-anak perempuannya. Janganlah si ayah membuang perasaan dan keinginan anaknya dan menjadikannya amplop kosong tak berisi. Lalu mengawinkannya dengan siapa saja yang dikehendakinya, sehingga si anak memasuki kehidupan rumah tangga dengan terpaksa. Karena si anak itulah kelak yang akan bergaul dengan suaminya, dan bukan si ayah. Tetapi ini tidak berarti bahwa antara pemuda dan si gadis harus sudah ada hubungan cinta sebelum terjadinya perkawinan, namun paling tidak harus ada kerelaan hati.

Islam memerintahkan si peminang melihat pinangannya, begitu juga sebaliknya. Nabi SAW bersabda: “Karena yang demikian itu lebih patut dapat mengekalkan kalian berdua.” Syariat Islam menghendaki kehidupan rumah tangga ditegakkan atas dasar saling meridhai dari masing-masing pihak yang berkepentingan. Si wanita hendaklah ridha, setidak-tidaknya memiliki kebebasan untuk menyatakan kehendak dan pendapatnya secara terus terang, atau kalau ia merasa malu menyatakan persetujuannya secara terus terang, bolehlah bersikap diam: “Anak gadis (perawan) itu hendaklah dimintai izinnya (untuk dikawinkan), dan janda itu lebih berhak terhadap dirinya.” (HR. Al-Jama’ah kecuali Bukhari).

Maksudnya wanita yang sudah pernah kawin sebelumnya harus menyatakan dengan terus terang. “Saya suka dan cocok (setuju).” Adapun seorang gadis bila dimintai ijinnya untuk dikawinkan kadang-kadang merasa malu untuk menjawab, lalu ia diam dan tersenyum, maka yang demikian itu sudah dianggap cukup bahwa ia setuju. Tetapi jika ia mengatakan, “Tidak”, atau menangis, maka ia tidak boleh dipaksa.

Nabi Muhammad SAW membatalkan perkawinan seorang wanita yang dikawinkan tanpa kerelaannya. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa ada seorang wanita yang menolak dikawinkan ayahnya. Lalu ia mengadukan hal itu kepada Nabi SAW. Nabi menginginkan ia merelakan ayahnya, sekali, dua kali, tiga kali. Ketika Nabi SAW melihat ia tetap pada pendiriannya, beliau bersabda, “Lakukanlah apa yang engkau kehendaki”. Tetapi kemudian wanita itu berkata, “Saya perkenankan apa yang dilakukan ayah, tetapi saya ingin agar para bapak (ayah) itu tahu bahwa mereka tidak punya hak apa-apa dalam masalah ini.”

Perlu ditegaskan disini bahwa dalam perkawinan itu harus ada kerelaan si anak dan wali (orang tua) sebagaimana yang disyaratkan oleh banyak fuqaha, sehingga mereka mengatakan wajibnya persetujuan wali untuk kesempurnaan nikah.

Disebutkan dalam hadits: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Darquthni).

“Siapa saja wanita yang nikah tanpa memperoleh izin dari walinya, maka nikahnya batal, batal, batal.” (HR. Abu Daud Ath-Thayalisi).

Selain itu juga harus ada keridhaan ibu. Mengapa ibu? Karena ibulah yang banyak mengerti masalah anak perempuannya. Rasulullah SAW bersabda: “Ajaklah ibu-ibu bermusyawarah tentang anak-anak perempuan mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Dengan begitu, dia memasuki kehidupan rumah tangga dengan ridha. Ayah ridha, ibu ridha, dan seluruh keluarganya ridha sehingga kehidupan rumah tangganya nanti tidak sesak nafas dan tidak keruh.

Yang lebih utama, hendaklah perkawinan dilakukan dengan cara yang dikehendaki oleh syariat Islam.

Labels:

posted by Erfan Hidayah @ 2:11 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
 
about me
My Photo
Name:
Location: Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia
Udah Lewat
Archives
sutbok
Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan cara mencabutnya dari manusia akan tetapi Dia mengambil ilmu dengan mengambil (mewafatkan) para ulama' sehingga ketika tidak meninggalkan seorang ulama' pun, orang-orang mengangkat para pemimpin yang jahil, mereka ditanya maka mereka memberi fatwa. mereka sesat dan menyesatkan (Hadits Muttafaqun 'Alaih).
Links
Template by
Blogger Templates
© Muhammad Erfan Hidayah