Monday, May 3, 2010
Tentang Cinta

Cinta, dibanyak waktu dan peristiwa orang selalu berbeda mengartikannya. Tak ada yang salah, tapi tak ada juga yang benar sempurna penafsirannya. Karena cinta selalu berkembang, ia seperti udara yang mengisi ruang kosong. Cinta juga seperti air yang mengalir ke daratan yang lebih rendah.

Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun samudera kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih sayang. Cinta adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan kehidupan yang lebih baik.

Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta tapi memberikan contoh kongkrit dalam kehidupan. Lewat kehidupan manusia mulia, Rasulullah tercinta. Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat Rasul-Nya.

Pagi itu meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur’an. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersamaku.” Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang sudah menatap sahabatnya satu persatu.

Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya. Ustman menghela nafas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. “Rasulullah akan meninggalkan kita semua.” Desah hati semua sahabat kala itu.

Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir disana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa.

Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang didalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapa itu wahai anakku?” “Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya,” tutur fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak dikenang. “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan didunia. Daialah malakul maut,” kata Rasulullah. Fatimah pun menahan ledakan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

“Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?” tanya Rasulullah dengan suara amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril.

Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril lagi.

“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” kata Rasulullah. “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: “Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya,” kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini,” lirih Rasulullah mengaduh.

Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka, “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

“Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahan lagi. “Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati wa maa malakat aimanukum,” (perihalah shalat dan santuni orang-orang lemah diantaramu).

Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan ke wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinga ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatii?” dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini mampukah kita mencintai sepertinya?.
(***Awie)

Labels:

posted by Erfan Hidayah @ 2:55 PM   0 comments
about me
My Photo
Name:
Location: Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia
Udah Lewat
Archives
sutbok
Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan cara mencabutnya dari manusia akan tetapi Dia mengambil ilmu dengan mengambil (mewafatkan) para ulama' sehingga ketika tidak meninggalkan seorang ulama' pun, orang-orang mengangkat para pemimpin yang jahil, mereka ditanya maka mereka memberi fatwa. mereka sesat dan menyesatkan (Hadits Muttafaqun 'Alaih).
Links
Template by
Blogger Templates
© Muhammad Erfan Hidayah